• Tahun penayangan perdana: 2009
  • Sutradara: Gaspar Noe
  • Pemain utama: Nathaniel Brown, Paz de la Huerta, Cyril Roy
  • Penilaian: 3,5/5

“[..] it’s the story of someone who is stoned when he gets shot and who has an intonation of his own dream.” –Gaspar Noe, sutradara Enter the Void-

Oscar adalah semacam pedestrian di Jepang yang berasal dari Amerika. Sehari-harinya Oscar menjual narkoba untuk menopang kehidupan di negeri matahari terbit itu. Suatu saat, teman Oscar yang juga tinggal di Jepang, Victor, ingin membeli narkoba darinya. Lalu bertemulah mereka di suatu bar kecil di Tokyo. Namun tak disangka, pertemuan itu ternyata adalah jebakan. Tiba-tiba saja polisi berhamburan masuk ke dalam bar. Rupanya Victor menjadi informan bagi pihak kepolisian Jepang.

Panik mengetahui dirinya dijebak, Oscar lantas berlari ke arah toilet untuk membuang narkoba di kloset. Berharap bisa menghilangkan barang bukti. Namun upaya menghilangkan barang bukti itu ternyata gagal, karena Oscar keburu ditembak di dalam toilet oleh polisi yang berusaha untuk menangkapnya.

Adegan penembakan Oscar di sebuah toilet bar kecil bernama “The Void” itu menjadi titik awal dimulainya film Enter the Void ini. Tema besar film ini memang berusaha untuk menggambarkan mengenai pengalaman seseorang ketika jiwanya lepas dari tubuh dan mulai bergentayangan. Selama hampir lebih dua jam setengah (!), kita akan disuguhi oleh visualisasi mengenai bagaimana ‘arwah’ Oscar ini gentayangan.

Mula-mula, setelah Oscar ditembak dan arwahnya mulai bergentayangan, kita akan dibawa mengembara ke potongan-potongan masa kecil Oscar. Kemudian pengembaraan arwah Oscar berlanjut dengan menggentayangi orang-orang terdekatnya. Maksud ‘menggentayangi orang-orang terdekat’ ini sebenarnya lebih kepada upaya penggambaran tentang bagaimana kematian Oscar memberi dampak terhadap orang-orang terdekatnya.

Di film ini kita akan melihat bagaimana kehidupan Linda, adik perempuan Oscar, yang hancur, karena di tinggalkan keluarga satu-satunya itu. Apalagi Linda hidup di negeri yang jauh dari negeri asalnya. Lalu, kita juga akan melihat bagaimana sobat karib Oscar, Alex, yang juga ikut terkena imbas akibat kematian Oscar. Dia terpaksa harus sembunyi dan menghindari kejaran polisi Jepang, karena hubungannya antara Oscar dengan pemasok narkoba utama di Jepang. Semuanya dilihat dari kacamata orang-pertama —dalam film ini, artinya dari sudut pandang Oscar sebagai arwah gentayangan.

***

Saya pikir, setidaknya terdapat empat poin yang membuat film ini menarik, yakni kematian, psikedelik, narkoba, dan seks. Di sini saya akan mencoba menjabarkan mengenai empat poin tersebut.

Untuk poin pertama, kematian. Oke. Inilah rahasia umum umat manusia yang masih mengandung misteri (setidaknya buat mereka yang masih hidup). Dikarenakan misterinya, telah banyak orang yang berbuat sesuatu dengan kematian ini. Mulai dari mencoba menjelaskannya, hingga tergerakkan olehnya. Tetapi, karena sebenarnya ‘sesuatu’ setelah kematian merupakan hal yang asing bagi kehidupan, maka manusia tentunya tidak dapat berbuat melebihi bayangannya sendiri. Dengan lain perkataan, imajinasi menjadi sesuatu hal yang penting di sini. Imajinasi dapat bergerak liar tanpa terkungkung bayangannya sendiri. Oleh sebab itulah, menjadi menarik melihat bagaimana imajinasi seseorang mengenai kematian divisualisasikan. Setidaknya kita bisa mengetahui ‘versi’ kematian seperti apakah yang diyakini seseorang itu. Mungkin setelah melihat film Enter the Void sampai habis, kamu bisa mendapatkan bayangan seperti apa konsep kematian yang divisualisasikan dalam film ini.

Artikel lain: Iron Man dan Kapitalisme – Waktu Tetirah Abo

Poin kedua, psikedelik. Hoho, ok. Sebut saya jadul, tapi saya senang aroma tahun 60-70an. Terutama segala hal berbau psikedelik, mulai dari subkulturnya, fashionnya, musiknya, bahkan hingga rambut afro ala Gil Scott Heron saya ambil semua. Termasuk ‘warna’ yang bercirikan psikedelik (campuran warna-warna cerah yang seringkali bergerak secara spiral). Nah, dalam film Enter the Void ini, kita akan disuguhkan oleh tatanan-tatanan warna psikedelik yang indah seperti itu. Bersamaan dengan arwah Oscar melayang dari satu tempat ke tempat lainnya, seringkali kali kita akan diselingi oleh gambaran-gambaran (mungkin metafora alam kematian) absurd yang berwarnakan psikedelik. Gambaran-gambaran itu berputar-putar dan bertransformasi, sehingga komposisi warna di dalamnya pun turut terbentuk sedemikian rupa. Cukup menyenangkan melihatnya. Hal ini, warna-warna psikadelik ini, juga akan membawa kita pada poin ketiga, yakni narkoba.

Yup, narkoba. Satu hal yang membuat dunia ini menjadi sedikit woles dan penuh hiburan. Bila narkoba disebut di sini, itu berarti maksudnya adalah semacam ‘rokok herbal’, weed, cimeng, etc. Bukan narkoba semacam etep, heroin, atau apa lah yang berbau kimia dan diinjeksi kedalam darah sendiri. Narkoba di sini maksudnya adalah segala hal yang bersifat halusinogen, entah itu rokok herbal atau mushroom.

Oke, lalu apa hubungannya ‘rokok herbal’ sebagai narkoba dengan film Enter the Void? Jawabannya juga simpel; dengan menghisap ‘rokok herbal’ sambil nonton Enter the Void akan membuat kamu stoned dengan sangat woles! Melihat bagaimana gambar, warna, hingga sudut pandang kamera yang bergerak liar —nih, saya kasih tau — akan membuat halusinasi kamu (sebagai dampak asap ‘rokok herbal’) juga bergerak lincah dan liar. Coba saja, ketika nonton film ini, lampu kamar kamu matikan, sehingga cahaya satu-satunya hanyalah berasal dari layar tivi dan api ‘rokok herbal’. Biarkan cahaya dan visual dari film Enter the Void mendominasi penerangan di kamar kamu yang sempit itu. Lalu kamu bakar itu beberapa linting ‘rokok herbal’, dan rasakan efek ‘pengembaraan-asap-herbal-karunia-alam’-nya. Saya pikir hal seperti itu seharusnya menjadi trip yang sangat ‘psikedelik’. Yo man…

Nah, poin terakhir yang membuat film ini menarik: seks. Anjis, adegan seksnya lumayan banyak. Teknik flying-camera, warna-warni psikedelik kota Tokyo, gambar-gambar absurd, narkoba, get stoned, seks, perempuan telanjang…it’s a hell of a trip.

Catatan: film ini durasinya minta ampun panjangnya. Sekitar dua jam setengah. Jadi…tontonlah dengan woles 🙂